Tag Archives: masalah guru dan murid

Membandingkan antar siswa


Beberapa waktu lalu ada rekan yang mengatakan bahwa membandingkan siswa dengan siswa lain merupakan hal yang tidak disukai oleh siswa. Apalagi bila dibandingkan antar kelas unggulan dengan bukan unggulan. Sebenarnya hal ini bukanlah hal baru. Banding membandingkan adalah hal yang biasa dikehidupan kita. Sebagai contoh, adanya Studi Banding, survey harga (membandingkan harga) bagi konsumen, dan lainnya.

Pada prinsipnya saya setuju adanya perbandingan antar siswa, sejauh tidak menyangkut hal yang prinsip, pembandingan yang masuk akal, dan penempatan disaat yang tepat dan dengan kata-kata yang tepat pula. Memang setiap manusia bila dibandingkan dengan yang lain akan merasa tidak suka, karena setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda. Namun dalam hal ini, tentu kita tahu, setiap sekolah memiliki peringkat sendiri-sendiri, dan ternyata hal tersebut juga dijadikan bahan perbandingan. Nah….banding-membandingkan merupakan hal yang biasa dan tidak mengganggu selama dilakukan dengan bijak dan bertujuan positif, sehingga perasaan tersakiti tidak akan terjadi, bahkan menjadi motivator dan inspirator bagi anak didik dikemudian hari.

Hari Pahlawan……bagi guru


Semua pasti akan jawab yang sama bila ditanya siapa pahlawan tanpa tanda jasa….yaitu guru. Menilik judul diatas bukan berarti guru memerlukan suatu hari khusus baginya, tetapi perhatian kepada para pendidik generasi penerus bangsa ini. Bila kita cermati, akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang menimpa pengajar di bumi Indonesia. Terlepas dari kesalahan pengajar sendiri maupun yang sudah dipolitisasi (baca: dibesar-besarkan). Ibarat kata nila setitik rusak susu sebelanga. Baca lebih lanjut

Keceriaan anak-anak


Kemarin, saya merasakan ada hal lain saat saya berada di tempat kerja, tempat saya berbagi pengetahuan.  Hal tersebut adalah saat saya melihat keceriaan yang ditunjukkan anak-anak didik, seolah mereka begitu menikmati kegiatan yang mereka jalani saat itu. Begitu lepas, bebas, dan tanpa beban. Persoalan yang mereka hadapi (bila ada) Sungguh bahagia melihat hal tersebut. Hati saya bergetar menyaksikan keadaan itu. Pada dasarnya anak-anak adalah lembaran putih, kitalah (para orang dewasa) yang memberi warna pada mereka. Warna pelangi, warna kusam, atau pun warna cerah dan gelap, kesemuanya para orang dewasa yang membentuknya.

Anak-anak yang nakal, bolos sekolah, dan lain sebagainya, hakikatnya bukan karena mereka saja, namun lingkungan disekitar mereka (masyarakat, keluarga, sekolah, media, dan lainnya) yang membentuk mereka menjadi seperti itu. Bila dirunut, anak-anak “bermasalah” seringkali memiliki latar belakang keluarga, teman sepermainan, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan bermain, yang tidak memberi perhatian yang cukup tepat baginya. Namun demikian seiring dengan perkembangan sekolah, kiranya anak-anak (menurut anggapan penulis) sudah cukup mampu membedakan benar dan salah. Akan tetapi mereka belum mampu menolak secara tegas suatu ajakan yang negatif. Disinilah peran setiap orang dewasa, siapapun mereka, untuk tetap menjaga anak-anak agar tetap berada dalam jalur yang semestinya. Di tangan anak-anak itulah masa depan bangsa ini akan dibawa.

Dari keceriaan mereka inilah menyebar energi positif, yang menyebabkan siapapun yang berhubungan dengan mereka akan terbawa energi positif tersebut. Suatu contoh nyata adalah para guru, pengasuh anak, dan lainnya, mereka bila dilihat selalu menyiratkan wajah yang segar, ceria, cerah, dan terkesan awet muda. Hal ini tentunya bila semua dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata mengharap ridho-Nya dan fokus pada kemajuan anak itu sendiri.

Tidak naik kelas dan tidak lulus sekolah


Beberapa waktu lalu saat di resepsi pernikahan teman, kebetulan disana banyak temen juga yang “kondangan”. Obrolan pun menjadi ramai saat membahas Ujian Nasional, Kelulusan, dan perihal naik atau tidak naik kelas. Banyak diantara teman yang pro dan kontra tentang Ujian Nasional, kelulusan dan juga naik/tidak naik kelas. Di tulisan saya terdahulu, ternyata formula Ujian Nasional sudah diubah, menjadi 40%  Nilai Sekolah dan 60% UN. Sepintas cara ini lebih menunjukkan “diterimanya” proses yang dilakukan sekolah selama 3 tahun pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, keadaan ini juga cukup ampuh dalam melihat kejujuran sekolah dalam penilaian. Terbukti bila dilihat disparitas nilai yang ada antara nilai sekolah dan nilai UN terdapat perbedaan yang cukup jauh. Padahal disparitas yang baik antara 0-1, artinya nilai yang dihasilkan cukup meyakinkan dan dapat dipercaya.

Pelaksanaan Ujian Nasional kali ini juga diwarnai “kegiatan” mencontek massal. Aneh nya, “pelapor” malah dimusuhi. Peristiwa ini sebenarnya lebih menunjukkan sikap yang kurang baik bagi anak didik, karena mereka sedari kecil sudah diajarkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jadi jangan heran bila mereka nanti dewasa akan “melestarikan” sifat korup yang ada dibangsa ini, karena memang masyrakat dan pendidik yang ada disekitarnya memberi contoh demikian. Perlu adanya sikap tidak alergi dengan tidak lulus dan jujur dengan diri sendiri serta tidak lulus bukan berarti kiamat? Jika susah untuk diterapkan, alangkah lebih baiknya bila semua tamat sekolah namun nilai apa adanya, sesuai aturan WAJAR DIKDAS bahwa semua harus wajib belajar sembilan tahun, sehingga kualitas nilai yang dihasilkan (lebih) dapat dipercaya, karena apa adanya.

Keadaan ini sebenarnya tidak jauh beda dengan kenaikan kelas di sekolah-sekolah (atau malah ketidakmampuan siswa dalam UN adalah akumulasi dari sistem disekolah yang bersangkutan dalam “seleksi alam” yang dilakukan berupa tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Dari hasil proses yang dilakukan akan didapatkan gambaran tentang peserta didik yang dimiliki, apakah mereka benar-benar mampu, mampu dengan catatan, ataukah diragukan kemampuannya?, agaknya hal ini lah yang harus dilihat. Nilai yang ada sudahkah mencerminkan kemampuan peserta didik atau belum? meskipun ada kata-kata “guru juga manusia” pasti ada nilai belas kasihan, dan lain sebagainya (meskipun setiap guru akan melakuan belas kasihan dsb, termasuk saya, namun seharusnya tidak ,menghilangkan obyektifitas). Intinya bukan karena manusiawi atau tidak manusiawi, namun nilai kejujuran yang diterapkan serta pengertian yang diberikan kepada peserta didik (termasuk kepada orang tua/wali yang bersangkutan)  perihal nilai yang didapatkan. Bukankah sekarang ini Indonesia krisis akan karakter, sehingga pendidikan berkarakter benar-benar ditekankan oleh pemerintah? . Jadi masih alergikah untuk mengatakan bahwa pengajar memang kurang mampu dalam mengajar sehingga ada peserta didik yang belum bisa menangkap pelajaran yang ada? (hal ini perlu prosentase keterserapan siswa yang diajar, dan perlu kejujuran untuk koreksi diri). Kemudian sudahkah siswa tersebut dilakukan pengayaan? jika semua proses sudah terlewati dan ternyata peserta didik memang belum mampu, silahkan ditulis belum tercapai karena memang belum mampu. Meskipun saya pernah dikritik oleh istri saya, remidial yang paling mudah adalah merangkum, jadi dengan merangkum saja peserta didik sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), tetapi saat saya bertanya, adakah soal ulangan atau yang sejenisnya yang berisi soal merangkum?sampai sekarang belum ada jawaban dan bukti nyata., karena memang di test, ulangan, sampai dengan Ujian Nasional, tidak ada soal merangkum.

Jadi, masihkah kita alergi untuk tidak lulus atau tidak naik ?jika memang jujur dengan diri sendiri (minimal) jikalau belum mampu seharusnya sadar diri, namun bila memang mampu ya seharusnya mendapatkan yang sesuai dengan kemampuan. Hasil dari pendidikan sekarang ini adalah 10-15 tahun kedepan, karena hakekatnya peserta didik yang ada adalah generasi muda penerus bangsa yang seharusnya berkualitas, jujur, dan penuh semangat kemajuan. Peserta didik adalah “human investmen” yang sangat berharga, bila mereka sukses sebagai pribadi duniawi dan akhirat, saya yakin pahala guru-guru yang pernah mendidiknya akan selalu mengalir.Amien

Hari Pendidikan dan wajah pendidikan di Indonesia


Hari Pendidikan di Indonesia selalu diperingati pada tanggal 2 Mei. Tanggal tersebut sebenarnya merupakan tanggal kelahiran RM Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan menteri pengajaran (pendidikan) dimasa awal kemerdekaan Indonesia. Selain sebagai menteri pengajaran, beliau juga merupakan pendiri Sekolah Taman Siswa di Yogyakarta, yang merupakan sekolah pribumi dan diajar oleh pribumi sendiri. Tiga semboyan Taman Siswa yang kini salah satunya dipakai sebagai lambang pendidikan di Indonesia. Tiga semboyan tersebut adalah ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Adapun maksud dari semboyan itu adalah ing ngarso sung tuladha, artinya didepan memberi tauladan/contoh. Guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi muridnya dan lingkungan disekitarnya. Ing madya mangun karsa, ditengah-tengah membangun keinginan atau cita-cita siswa, minimal memberikan gambaran apa yang sebenarnya dikehendaki siswa sebagai impiannya kelak. Tut wuri handayani, dibelakang memberi dorongan membangun semangat para siswa untuk maju dan menggapai impian mereka, minimal agar mereka sukses dalam kehidupan dikemudian hari.

Begitu tingginya filosofi pendidikan di Indonesia, tapi apakah sesuai dengan pelaksanaannya ? ing ngarso sung tuladha, didepan memberi contoh. Contoh nyata dari sebagian besar guru adalah kehidupan yang bersahaja, “nrimo”, sederhana, dan ulet. Kehidupan bersahaja nan sederhana memang bentuk sehari-hari guru, seperti yang disuarakan Iwan Fals dengan Oemar Bakrie, meskipun sudah ditepis oleh pemerintah dengan adanya program sertifikasi guru, dengan melipatgandakan gaji guru. Akan tetapi sudah pastikah program tersebut ? ataukah hanya coba-coba ? atau sebenarnya merupakan hak guru, karena sesuai janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, hanya saja anggaran pemerintah belum mencukupi sehingga diperlukan program tentang sertifikasi guru ? Susah menjawabnya karena semua hanya sebatas dugaan saya saja. Kemudian ing madya mangun karsa, membangun keinginan siswa. Bentuk -bentuk kegiatan yang ada sudah banyak sekali seperti adanya ekstrakurikuler, sekolah ketrampilan khusus, dan lainnya. Namun muncul pertanyaan lanjutan, sudahkah fasilitas sekolah, kemampuan guru, dan sarana penunjang yang lain dicukupi ? Gedung sekolah banyak yang ambruk, fasilitas sekolah yang minim, biaya pendidikan yang relatif mahal, beasiswa bagi siswa pintar namun kurang mampu, beasiswa bagi guru, sistem kurikulum yang sering bergantii dan dianggap terlalu padat, peraturan pendidikan yang cenderung politis dan tidak independen, dan masih banyak lagi, merupakan pekerjaan rumah yang tidak sedikit. Dan yang terakhir adalah tut wuri handayani, dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, maka yang menjadi andalan adalah berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan dan yang ada.

Pendidikan adalah kunci keberhasilan suatu bangsa menuju kemajuan. Saya yakin semua setuju untuk itu, namun sudahkah kita berbuat sesuatu untuk pendidikan itu sendiri?